WARTAMUSI.COM, Palembang – Untuk mendukung program Asta Cita Presiden Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) memusnahkan sejumlah barang bukti hasil penindakan pelanggaran kepabeanan Bea Cukai yang dilaksanakan serentak di empat wilayah Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Sumbagtim meliputi Pangkal Pinang, Jambi, Palembang, Tanjung Pandan, Selasa (17/12/2024).
Kepala DJBC Sumbagtim Agus Yulianto mengatakan, pemusnahan barang bukti ini merupakan bukti komitmen Bea Cukai dalam menjalankan fungsi Community Protector atau perlindungan masyarakat.
“Bea Cukai Sumbagtim sepanjang 2021 sampai dengan November 2024 telah melakukan lebih dari 4.000 kali penindakan dengan barang bukti antara lain 321,1 kilogram narkoba, 41,1 ribu butir obat-obatan terlarang, 690,7 ribu ekor Benih Bening Lobster (BBL), 121,3 ribu liter minuman beralkohol ilegal, dan 84,6 juta batang rokok ilegal,” kata Agus Yulianto, Selasa (17/12/2024).
Lebih lanjut Agus mengungkapkan, keseluruhan barang penindakan tersebut bernilai Rp 467,3 miliar dengan risiko kerugian negara mencapai Rp 140,7 miliar, dan telah menyelamatkan 1,38 juta jiwa dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba jika beredar di masyarakat.
“Barang-barang hasil penindakan berupa narkoba telah ditindaklanjuti proses hukumnya oleh kepolisian dan BNN, serta Benih Bening Lobster (BBL) telah diserahkan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk dilepasliarkan,” imbuhnya.
Masih menurut Agus, sementara untuk barang bukti berupa minuman beralkohol ilegal dan rokok ilegal, sebagian ditindaklanjuti dengan ultimum remedium yaitu tindakan hukum yang lebih diutamakan untuk menggantikan hukuman pidana dengan denda yang memberikan efek jera senilai Rp 2,6 miliar.
Terhadap barang-barang hasil penindakan yang melalui proses hukum ultimum remedium ini tidak dikembalikan kepada pemiliknya meskipun, telah diselesaikan proses hukumnya, tapi ikut dimusnahkan.
Lebih lanjut ditambahkannya, barang-barang yang dimusnahkan ini dipastikan akan dirusak agar, tidak dapat kembali dikonsumsi oleh masyarakat. Hal ini karena tujuan mendasar atau filosofi pengenaan cukai bukanlah sebagai penerimaan negara melainkan untuk mengendalikan konsumsi dan pengawasan peredaran terhadap barang berbahaya yang mengganggu kesehatan masyarakat.
Komponen pungutan cukai ditambahkan untuk meningkatkan harga barang agar tidak mudah untuk diperoleh masyarakat. “Hal ini dengan mempertimbangkan tiga faktor penting selain kesehatan masyarakat itu sendiri, yaitu penyerapan tenaga kerja yang mencapai 6 juta jiwa pada rantai produksi (petani hingga distributor) dan lebih dari 10 juta jiwa tenaga kerja yang tidak terhubung langsung dengan industri seperti pedagang eceran, dan jasa pendukung lainnya, risiko meningkatnya peredaran barang ilegal yang harus dihadapi, termasuk risiko hilangnya salah satu sumber penerimaan negara,” tandasnya. (*)