Opini  

Masjid Agung Al Furqon Jua-Jua Harus Ditetapkan Menjadi BCB

Sejarawan Universitas Sriwijaya dan Masjid Agung Al Furqon Jua-Jua.
Oleh :Dr. Dedi Irwanto MA (Sejarawan Universitas Sriwijaya)

 

WARTAMUSI.COM – Minimnya penetapan Benda Cagar Budaya di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) sangat miris. Mengingat OKI sangat kaya akan cagar budaya, salah satunya adalah Masjid Agung Al-Furqon Jua-Jua, Kayuagung. Masjid Agung Al-Furqon memiliki sejarah panjang sebagai masjid tertua di Kabupaten Ogan Komering Ilir.

Masjid Al Furqon, awalnya Masjid Agung untuk Marga Kayuagung yang dibangun pada tahun 1823 masa Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom bin Sultan Susuhunan Husin Dhiauddin. Masjid ini didirikan di pinggir Sungai Komering yang mengaliri Marga Kayuagung. Kontruksi awal masjid agung Jua-Jua ini terbuat dari kayu dan papan bertiang.

Masjid Agung Al-Furqon menjadi pusat syiar agama Islam untuk Onderafdeeling Ogan en Komering Ilir. Terdapat dua orang ulama yang sangat disegani yakni Almukaromah Al Haji Hassan Chotib bergelar Tande Imam Masjid Agung Jua-Jua dan Almukaromah Al Haji Munggah bergelar Raden Bangse Kramat. Serta juga menjadi salah satu tempat berdakwahnya ulama besar OKI, Almukaromah KH. Muhammad Noer (Kiyai Maknur Dusun Talang).

Namun setelah 90 tahun, masjid agung tersebut dipugar dan dipindahkan sedikit ke arah darat karena tebing sungai tempat berdirinya awal mengalami abrasi. Pemugaran dilakukan selama tiga tahun, dari tahun 1913 sampai 1915.

Pemugaran ini memakai beton namun, secara utuh pemugaran Masjid Agung Marga Kayuagung di Jua-Jua tersebut baru selesai pada tahun 1936.

Arsitek utama masjid oleh Ahmad Yacub Raden Depati. Prasasti pendirian dan pemugaran masjid Agung Jua-Jua ini masih tersimpan di rumah salah satu keturunan Al-mukaromah Al-Haji Hassan Chotib bergelar Tande Imam yakni, Drs. H. Syaiful Ardand.

Pada tahun 1936, Masjid Agung Al Furqon Jua Jua diresmikan oleh Kerio Muhammad Arief yang merupakan menantu Krio Matjan Kemale Inggro bergelar Krio Matjan Bodok. Pada saat itu Kerio Muhammad Arief merupakan pemimpin Dusun Jua-Jua, salah satu Marga Siwe (sembilan marga) asli Kayuagung. Pada saat itu, Jua-Jua merupakan dusun pembarab, sehingga masjid agung untuk Marga Kayuagung didirikan di sana. Sedangkan untuk delapan dusun marga siwe lain hanya berhak mendirikan langgar.

Pentingnya, menjadikan Masjid Agung Al Furqon Jua-Jua ini, tidak saja dari usia bangunannya yang sudah mencapai 200 tahun lebih.

Namun juga karena masjid ini pernah dijadikan markas dalam menyusun siasat para pejuang di Ogan Komering Ilir, baik untuk taktik perang gerilya di Kayuagung dan sekitarnya maupun untuk mendukung Perang 5 Hari 5 Malam di Palembang dan. Para pemimpin pejuang tersebut tercacat Letkol Moehammad Noeh Matjan dan H. Braksan Matjan yang keduanya merupakan putra Pasirah Marga Kayuagung, Pangeran Matjan.

Pemimpin lasykar Moehammad Denin Raden Bayang dan Haji Mekki (ayanda dari mantan wabup sumsel dan bupati OKI, H. Ishak Mekki). Tokoh-tokoh agama lainnya, seperti K.H. Ahmad Dahlan.

Letkol M. Noeh Matjan dan kawan-kawan dari Kayuagung membentuk Pasukan Berani Mati di Kayuagung pada masa Revolusi Fisik. Salah satu kesuksesan Pasukan Berani Mati yang dipimpin oleh Letkol M. Noeh Matjan ini adalah penyerangan dan perebutan Kantor Pemerintahan Jepang, Bun Syo Co di Kayuagung pada tanggal 9 Oktober 1945. Keberhasilan tersebut menyebabkan terjadinya peristiwa heroik, pengibaran bendera sang saka merah putih pada tanggal 11 Oktober 1945.

Pengibaran dilakukan oleh tiga pemuda gagah Kayuagung, Raden Ismail Effendi, M. Ali Hanafiah dan Marzuki Suriah. Pembina upacara dipimpin oleh Wedana (Bupati) pertama OKI, Wedana A. Najamuddin. Peristiwa inilah yang menjadi memicu perebutan-perebutan dan pelucutan markas Jepang awal di seluruh Keresidenan Palembang saat itu.

Selanjutnya, Pasukan Berani Mati Kayuagung yang dipimpin oleh Letkol M. Noeh Matjan ini rajin melakukan penyerangan dan pengadangan terhadap pasukan Belanda yang mencoba ke daerah uluan Palembang melalui Kayuagung dengan siasat dijalan pada Masjid Agung Jua-Jua tersebut.

“Mengingat usia masjid yang sudah tua. Termasuk struktur kayu dibagian dalam masjid serta atap sejak tahun 1913. Selain itu, masjid ini merupakan masjid pertama di Kayuagung. Serta juga digunakan sebagai shalat Jum’at di seluruh Margo Siwe. Juga masjid ini memiliki nilai sejarah sebagai markas perjuangan di masa revolusi fisik. Semestinya, harus ada perhatian lebih pemerintah pada masjid ini”, ujar Drs. H. Syaiful Ardand, ketua Masjid Agung Al Furqun Jua-Jua.

Sejarawan Universitas Sriwijaya, Dr. Dedi Irwanto MA yang juga putra asli OKI, menilai masjid ini perlu dilindungi. Walaupun sudah terdaftar sebagai Benda Cagar Budaya dengan masuk di Web Giwang Disbudpar Sumsel. Namun itu tidak cukup.

“Saya pikir, masjid Agung Al Furqon tersebut, tidak cukup terdaftar saja. Tetapi harus ditetapkan sebagai BCB. Makanya, harus ada kajian naskah akademik terhadap masjid ini. Kemudian dirapatkan di DPRD OKI untuk ditetapkan oleh Bupati OKI sebagai BCB melalui Perda atau Perbup OKI. Ini harus secepatnya, agar masjid ini terlindungi dan mendapat perhatian serta nanti ada bantuan pemugaran lebih lanjut dari pemerintah. Pentingnya lagi, nilai historis bangunan masjid ini akan lestari ke anak cucu kelak”, kata Dr. Dedi Irwanto ketika ditemui di Kampus FKIP Ogan, Rabu (7/8).