WARTAMUSI.COM, Palembang – Sultan Palembang Darussalam, Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) IV Jaya Wikrama RM Fauwaz Diradja SH MKn, menegaskan bahwa Palembang telah menjadi pusat perdagangan rempah dunia sejak era Kedatuan Sriwijaya, bahkan sebelumnya, hingga masa Kesultanan Palembang Darussalam.
Pernyataan ini disampaikan dalam Seminar Nasional Strategi Kebijakan Pemberdayaan dan Budidaya Petani Rempah Nusantara serta penandatanganan MoU, MoA, dan IA antara Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas Pertanian, serta Fakultas Teknik Universitas Tamansiswa Palembang. Juga dilakukan perpanjangan MoU antara Universitas Tamansiswa (Unitas) Palembang dan Kesultanan Palembang Darussalam (KPD) untuk menjadi mitra dalam berbagai bidang, Selasa (20/5/2025) sore.
Sejarah Rempah di Palembang: Dari Sriwijaya ke Kesultanan
SMB IV mengungkapkan bahwa budaya bertanam sudah ada sejak masa Sriwijaya, sebagaimana tercatat dalam Prasasti Talang Tuo:
“Saya lihat bahwa dari situ kita lihat bahwa budaya menanam itu sudah ada dari zaman Sriwijaya bahkan sebelum Sriwijaya. Jadi kebiasaan bertanam bukan pada ketika masa kesultanan saja, tapi sejak masa kerajaan Sriwijaya sudah ada,” katanya.
Sebagai kota pelabuhan, Palembang menjadi tempat persinggahan berbagai bangsa—Cina, Arab, India, hingga Eropa. Bukti historis heterogenitas ini bisa dilihat dari keberadaan Kampung Kapitan (komunitas Cina), Loji Sungai Aur (bangsa Eropa), dan Kampung Al-Munawar (orang Arab).
“Jadi Palembang ini sudah terkenal sampai ke mancanegara sejak dari zaman dahulu… Jadi selain orang Melayu dan pribumi, dilarang untuk ditinggal di ilir. Makanya pada sebelum kesultanan tidak ada kampung sebelah ilir itu kampung orang asing,” katanya.
Palembang dan Jaringan Perdagangan Dunia
Menurut SMB IV, banyak komoditas rempah diperdagangkan melalui Palembang. Sungai Musi bahkan menyimpan artefak sejarah seperti keramik kuno dan senjata, menunjukkan aktivitas perdagangan internasional, termasuk barter dengan mata uang dolar Spanyol.
“Kalau kita lihat bahwa di Sungai Musi tersebut bukan hanya ditemukan rempah-rempah… Apalagi di masa lalu kita patokannya dolar Spanyol,” katanya.
Setelah runtuhnya Sriwijaya, jalur perdagangan di Palembang sempat terganggu oleh bajak laut Chen Zuyi. Namun, situasi kembali stabil setelah kedatangan Laksamana Cheng Ho yang menumpas bajak laut tersebut. Majapahit kemudian menempatkan Aryodamar sebagai penguasa lokal.
Peran Strategis Palembang di Era Kesultanan
Pada masa Kesultanan Palembang Darussalam, komoditas lada mulai berkembang sebagai primadona ekspor, menggantikan peran Maluku sebagai penghasil utama pala dan cengkeh. Lada dari daerah uluan seperti Lahat, Pagaralam, Muara Enim, Ranau, dan Bangka menjadi andalan.
“Jadi sejak abad ke-15 baru lada itu mulai dikembangkan di Palembang… Dan jangan salah, jadi mereka juga kopi belum masuk pada saat itu,” katanya.
Palembang kemudian menandatangani kontrak dengan VOC pada tahun 1641 dan memberikan hak monopoli pada tahun 1642. Namun, konflik pecah akibat kebijakan sepihak VOC yang akhirnya menyebabkan Perang Palembang tahun 1659 dan penghancuran Kraton Kuto Gawang.
Sistem perdagangan lada kala itu dikenal dengan libang tukon, yaitu pertukaran barang atau jual beli langsung dengan harga yang ditentukan Sultan.
Perspektif Internasional dan Tantangan Rempah Nusantara
Prof. Suso Mourelo dari University Rey Juan Carlos, Spanyol, menyampaikan bahwa awalnya ia mengira Ternate dan Sulawesi Selatan adalah pusat rempah utama. Namun, ia kini menyadari luasnya potensi rempah di seluruh Indonesia.
“Indonesia termasuk nomor 4 eksportir rempah di dunia… Padahal secara kuantiti kita punya banyak rempah-rempah, tetapi kualitasnya masih kalah jauh dengan 3 negara tersebut,” katanya.
Menurutnya, rempah bukan sekadar komoditas, tetapi juga identitas dan jiwa masyarakat petani.
Kurangnya Data Rempah dan Rencana Bank Data Nasional
Ketua Umum Sarekat Hijau Indonesia, Ade Indriani Zuchri M.Sos, mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki lebih dari 7.000 varian rempah, namun tidak didukung dengan data yang memadai.
“Padahal banyak sekali nama-nama rempah-rempah yang sebenarnya ada tetapi tidak bisa ditemukan datanya,” katanya.
Ia menyoroti pentingnya pembangunan pusat studi rempah Indonesia sebagai tonggak pengumpulan data nasional untuk kepentingan riset dan pendidikan.
Inovasi dan Teknologi Rempah: Masih Banyak Tantangan
Dr. Sisnayati ST MT, dosen Universitas Tamansiswa Palembang, membahas pemanfaatan teknologi pengolahan rempah. Ia mengklasifikasikan rempah menjadi empat kategori: spices, herb, herbal seasoning, dan condiments.
“Jadi rempah itu bisa dia sebagai spices, bisa sebagai herb, bisa sebagai season, bisa juga sebagai condiments. Tergantung nanti peruntukannya untuk apa,” katanya.
Namun, ia menyoroti sejumlah tantangan seperti kualitas bahan baku yang tidak konsisten, ketergantungan musim, rendahnya akses teknologi, dan lemahnya sistem distribusi.
“Produk lokal sebenarnya kita tidak kalah dengan produk-produk dari negara luar… Nah mungkin teknologi yang digunakan dan kemudian itu sangat berpengaruh nanti ke kualitas produknya,” katanya.
Rempah Sebagai Identitas Bangsa dan Jalan Menuju Ekonomi Hijau
Pj Rektor Universitas Tamansiswa Palembang, Desfitrina SE, M.Si, menyatakan bahwa seminar ini tidak hanya menyentuh sektor pertanian, tapi juga berbagai dimensi strategis: hukum, ekonomi, politik hijau, inovasi teknologi, hingga sejarah budaya.
“Semua ini membentuk satu kesatuan gagasan menuju jalur ekonomi hijau masa depan yang berkelanjutan,” katanya.
Menurutnya, tantangan bukan hanya pada produksi, tetapi juga pada strategi pemberdayaan dan kebijakan yang terarah.
“Semangat inilah yang menjadi dasar seminar ini… untuk mendorong kemajuan bangsa secara berkelanjutan,” katanya.